Minggu, 15 Januari 2012

Sosok

Kanneq Pia : Sallannu Lao Dimmating di Sana’eke


Baruga,Majene-Awan di atas masih mengisyaratkan kalau gemericik air hujan di atap rumah akan berangsur dalam waktu tak singkat. Warnanya yang sedikit menghitam menunjukkan kalau hari itu tempo dan volume hujan bakalan lama dan lebat. Padahal di kampung itu beberapa hajat hendak digelar. Mulai dari nikah hingga hajatan sekedar bentuk kesyukuran pada Yang Maha Esa.
Dihari yang disesaki bulir air hasil penampungan awan itu kusempatkan diri menyambangi sebuah rumah sederhana di kawasan yang ramai dengan remaja berseragam sekolah dan peci hitam. Di daerah itu lebih masyhur dengan sebutan kompleks Pasantren Baruga (maksudnya Pesantren yang terletak di kampung Baruga). Karena pada medio tahun 1985-1995 kampung itu ramai oleh aktifitas proses pendidikan berbasis agama.

Rumah yang saya sambangi adalah rumah seorang nenek tua yang saban hari telah mengabdikan separuh hidupnya untuk melayani ratusan anak santri di Pasantren tadi. Dulu ia mengabdikan dirinya untuk memasakkan kebutuhan makanan anak-anak “titipan” itu. Setiap harinya ia harus menguras tenaga di jam-jam kala waktu makan tiba.

Itu nampak setiap masuk waktu makan santri yang menunggu giliran dapat jatah akan antri di depan “loket” pembagian makan. Ia dibantu dengan setia salah seorang anaknya bernama Musdalifah. Setiap santri dibagikan makan dalam wadah piring masing-masing yang dibawa dari kamar-kamar tempat mereka bertaruh waktu meraih mimpi.
Mata Kanneq Pia berkaca-kaca (foto: Shalahuddin Ismail)

Nenek tua itu lebih akrab di sapa Kanneq Pia. Namun di kalangan keponakan dan cucunya kadang di sapa Indo Dili’. Tapi di kalangan “penunggu” makanan sendiri sudah melekat panggilan yang pertama itu.
Saat penulis menyambangi di rumahnya ia masih nampak bugar meski tak seperti dulu lagi. Memasuki pintu rumahnya penulis mendapati Kanneq Pia sedang mengayun cicitnya. Sesekali ia berbicara pada bayi di dalam bungkusan sarung yang menggantung itu. Seolah bayi itu telah lihai dan paham apa maksud Kanneq Pia padanya.

Menyadari kedatangan saya kerumahnya salah seorang cucunya mempersilahkan saya untuk duduk di ruang tamu. Sambil menunggu Kanneq Pia cucunya bertanya maksud kedatangan saya. Tanpa pikir panjang saya utarakan bahwa saya butuh gambar beliau untuk saya pajang di dinding blog saya. “Saya mau foto i Kanneq untuk di pasang di internet”, kataku meyakinkan pada cucunya bahwa tidak ada maksud buruk pada neneknya itu.

Salah satu cucunya yang lain langsung merespon maksud kedatangan saya. Namanya Mahfudzah. Belakangan nama panggilan cucunya ini adalah Pura’. Dia adalah cucu keturunan kedua dari ibunya yang bernama Musdalifah itu. Sedangkan yang menerima pertama kali tadi itu bernama Sarfiah dan namanya itulah yang kini ikut lengket di belakang nama sang Kanneq tadi. Sekali lagi menjadi Kanneq Pia.

Sekadar diketahui bahwa cicit yang sedang dalam ayunan tadi itu rupanya buah hati dari si Pura’ itu. Saat itu anaknya baru berusia beberapa bulan. Entah berapa persisnya. Oleh si Pura’ tadi juga langsung menyampaikan maksud kedatangan saya. Dan ia tak luput memperhatikan penampilan si Kanneq. Saya hanya mengira-ngira mungkin karena sebuah anggapan kalau difoto itu harus berpenampilan menarik.

Tak berselang beberapa menit si Kanneq duduk di depan saya dan tanpa menunggu lama kamera sejak tadi telah saya persiapkan untuk mengabadikan gambar wajah Kanneq Pia kini. Keriput di pinggiran matanya sudah mulai nampak ketika sesekali saya zoom lensa kamera di tangan kananku. Sebelum saya lepaskan tombol shutter kamera ia sekali lagi menanyakan pada saya tentang kedatanganku hari itu. “Namuapai potou na’u?, katanya pada saya yang berarti mau kamu apakan foto saya nak.

“Nanipasang dikomputer anna’ naita passikola”, kataku padanya yang artinya mau dipasang di komputer biar anak sekolah (santri yang dulu di beri makan) bisa melihatnya.

Usai meyakinkan si Kanneq, rupanya nampak matanya sedang berkaca-kaca. Di wajahnya menyiratkan ada kenangan yang tak terlupakan kala ia dulu mengabdikan dirinya untuk Pasantren itu. Tersadar saya sedang memandangi wajahnya ia sesekali mengusap bulir air mata di ujung matanya sambil berurai beberapa patah kata tanya padaku. “Innamo naoroi illa’o sanaeke. Namae’di tongang mi andang uissang urupa”, katanya yang artinya dimanakah sekarang semua anak-anak itu. Mereka sudah banyak dan mungkin sudah sulit saya kenali.
Kanneq Pia (foto: Shalahuddin Ismail)
 
Bahkan ia sempat menyebut nama yang masih sempat ia ingat saat saya berkunjung di kediamannya. “inna ami dzio dite’e tia nisanga iy Darwis, andammi nanissang nirupa apa’ masaemi”, ujarnya lagi padaku yang artinya entah di mana  sekarang (santri) yang namanya Darwis itu. Saya yang juga alumni dari Pesantren itu hanya tersenyum tak paham juga dengan Darwis mana yang Kanneq maksud. Karena setahu saya si Kanneq tadi sudah tidak lagi memasakkan santri kala saya mendaftarkan diri di Pasantren itu.

Setelah sesi pengambilan gambar pada hari itu saya pamit pulang kembali. Tak lupa si Kanneq titip salam untuk anak-anak “penunggu” makanan darinya. “Sallannu lao palakang dimmating sana’eke”, katanya yang artinya salamku pada anak-anak itu.


Cat: Tulisan ini didedikasikan untuk alumni Pondok Pesantren Ihyaul Ulum DDI Baruga yang sempat mengenyam kehidupan di Asrama Putra. Tulisan ini merupakan awal untuk menginformasikan kondisi-kondisi mereka kini yang dulu mengabdikan diri di pondok Pesantren Ihyaul Ulum DDI Baruga. Tunggu sosok lainnya yang dulu banyak “bersentuhan” dengan kehidupan di kompleks Pasantren itu.