Kamis, 22 Desember 2011

CERAI

Sidang perkara Cerai Gugat (foto : net)
Mamuju-Langit di luar masih nampak mendung. Tapi lalu lalang suara kendaraan masih riuh ramai bersahut-sahutan. Suasananya sudah mirip jelang maghrib. Namun jam dinding di kantor masih menunjukkan pukul 14.05 wita atau pukul 02.05 siang.
Untuk pertama kalinya saya diberi tugas oleh kantor untuk menyambangi Kantor Pengadilan Agama. Di benak saya hanya berkecamuk apa yang bisa dijadikan catatan hari itu untuk diurai jadi sebuah berita. Sekitar pukul 02.09 siang saya menginjakkan kaki di halaman depan Kantor Pengadilan Agama Mamuju. Kantornya masih sepi, maklum pegawai yang bertugas disana baru masuk untuk kerja di pertengahan siang hingga tepian sore hari itu. 
Dua tiga langkahku memasuki ruang kantor. Sesumbar senyum menyapaku siang itu. Sesosok pria muda yang menyapaku itu ternyata seorang anggota satuan pengamanan kantor. “Ada yang bisa dibantu pak? Katanya padaku. Tanpa basa basi saya menanyakan dimana saya bias mendapatkan beberapa ungkap data terkait perkara yang sedang ditangani di Mamuju medio bulan ini.
Tanpa menunggu lama sang Satpam langsung mengarahkan kami ke tempat tunggu dan ia meminta kami untuk bersabar menunggu seorang staf yang diberi wewenang mengurusi tetek-bengek perkara di kantor itu. Berselang kurang lebih 15 menit lamanya datang dua orang ibu beserta satu orang anak. Dalam benak saya langsung menerka mereka ini mungkin adalah orang yang berperkara. Dugaan saya betul, belum sempat saya duduk salah satu dari staf yang bekerja di kantor itu langsung bertanya pada sang ibu. “Datang mi suaminya bu?, tanya si staf kantor itu. Dengan lunglai si Ibu tadi hanya menjawab “belum pi”. 
Staf yang mendapat jawaban seperti itu hanya langsung mempersilahkan sang Ibu tadi untuk menunggu saja kedatangan suaminya yang ternyata sebentar lagi akan menjadi mantan suaminya. Saya yang duduk hanya berjarak beberapa meter dari si Ibu tadi hanya memperhatikan setiap sudut gerak-geriknya. Handphone yang ia genggam saat baru datang tadi tak henti-hentinya ia utak-atik, mungkin sekedar ia lakukan itu untuk menghilangkan kebosanan. Sesekali ia Nampak menerima telefon mungkin keluarga atau koleganya. Tapi dari setiap jawabannya saya hanya bisa menerka bahwa dari telefon yang ia terima selalu memberinya dukungan untuk tetap tabah. “Iya bu Alhamdulillah, doakan ya supaya lancar-lancar ki. Ada ma sekarang ini di Pengadilan sementara tunggu ayahnya Ananda (nama samaran)”, tuturnya saat menjawab telefon siang itu.

Berpisah (foto: net)
 Sementara Ananda yang masih belia masih disibukkan dengan memperhatikan kemegahan Kantor yang berdiri kokoh hari itu di sekitarnya. Sesekali ia meminta pada ibunya untuk pulang. Tapi ia sesekali mengurungkan niatnya untuk pulang kala melihat satu-persatu sosok berseragam melangkah tegap masuk ke ruang kantor. Rupanya mereka adalah pegawai pengadilan yang bertugas di sana. 
Ananda yang sejak tadi merengek kepada ibunya, merasa tak dihiraukan ia memilih untuk lalu lalalng di loby kantor PA Mamuju hari itu. Sesekali ia duduk di lantai dan menatap kami yang duduk hanya berjarak sekitar dua hingga tiga meter dari pintu masuk. Tak ada gurat di wajahnya yang menunjukkan bahwa ayah ibunya hari itu akan menutup lembaran kisah indah bersamanya. Ananda hanya sesekali tersenyum bahkan hingga tertawa jika kami melempar senyum kepadanya. Wajahnya sekali pun hanya menampakkan keluguan dan kepolosan sebagai seorang anak kecil.
Tak jauh dari pintu beberapa menit setelahnya muncul dua orang pria dewasa bersama seorang ibu berusia lanjut. Kedatangan mereka ke Kantor PA Mamuju pun sama dengan perkara yang diajukan ibu Ananda
Setelah masuk ke ruang loby Kantor mereka langsung mengambil posisi untuk duduk. Seorang pria mengambil posisi tepat di belakang ibu Ananda. Sedangkan seorang pria dan ibu tadi mengambil posisi di belakang saya. Baru beberapa menit berselang mereka duduk Ananda datang berlari kecil meninggalkan ibunya yang sedang sibuk di luar menerima telefon. Masih berlari itu Ananda berteriak di hadapan kami sebelum akhirnya berbelok ke belakang. “Papa…”, ucapnya. Ternyata pria yang duduk di belakangku hari itu adalah ayahnya. Melihat putrinya datang sang ayah langsung menyambutnya dengan menyapanya.
Takut ketahuan melirik ke belakang, kuangkat sedikit ponsel yang saya gunakan. Maksudnya agar melihat apa yang terjadi di belakang lewat pantulan cerminan di layar ponsel saya. Di situ Ananda dengan ayahnya sesekali tertawa dalam kegamangan situasi hari itu. Belum lama si ayah dan Ananda bermain bersama si Ibu datang dan memanggil Ananda dengan nada membentak. “Nanda, sini ko”, kata ibunya. Dari tutur katanya itu telah menandakan ibunya tak senang dengan sesosok pria dekat pintu itu jika bermain dengan Ananda. Ananda yang diambil oleh ibunya hanya sesumbar pada Ayahnya. “Dada…papa”, ucap Ananda pada Ayahnya. Kutatap wajah pria tadi saat mengucap kata itu padanya wajahnya hanya menampakkan kemurungan. Seolah menunjukkan ucapan Ananda tadi adalah tanda ia akan berpisah dengan Ananda untuk selamanya.
Cerai (foto : net)
Belum lama Ananda duduk bersama ibunya seorang staf datang bertanya pada ibunya. “Ada mi suami ta?, adami”. Tanya staf yang langsung dijawab oleh ibu Ananda. Setelah itu terdengar panggilan untuk mereka baik untuk Ibu maupun untuk Ayah Ananda untuk memasuki ruang sidang. Mereka tadi yang mendampingi Ayah dan Ibu Ananda rupanya pihak keluarga yang akan menjadi saksi utama dalam sidang perkara mereka hari itu.
Satu persatu mereka dipanggil hakim untuk dilakukan sumpah agar memberikan kesaksian yang sesungguhnya. Usai bersumpah di hadapan hakim selain ayah dan ibu Ananda salah satu di antara mereka diminta untuk tetap tinggal di dalam ruang sidang. Selebihnya di suruh pak Hakim untuk keluar saja dan menunggu panggilan giliran untuk memberi kesaksian. 
 Saya yang saat itu sedang disibukkan dengan pencocokan data yang diminta oleh kantor saya untuk bisa dijadikan bahan berita sesekali menguping mendengar cerita diantara keluarga Ayah dan Ibu Ananda.  Mereka masih nampak akrab. Tidak ada ruang yang saya lihat di sana bahwa salah satu anggota keluarga mereka ternyata sedang melakukan upaya perceraian. Nampaknya semua masih baik-baik saja. Namun setelah memperhatikan mereka disela-sela tugas saya seorang ibu yang tadi mendampingi ibu Ananda berujar pada ibu yang menemani ayah Ananda bahwa sebenarnya suaminya si ibu tadi itu sebenarnya tidak setuju dengan keputusan yang dipilih oleh ibu Ananda yang meminta cerai dari ayah Ananda. “Sebenarnya itu suami ku juga tidak setuju, tapi apa boleh buat dia yang tetap mau untuk cerai”, katanya pada ibu yang ada di sebelahnya. Sedangkan ibu yang ditemani cerita itu hanya mengangguk-angguk saja seolah setuju dengan keluarga ibu Ananda itu.
Jam yang terpasang di kantor itu sudah menunjukkan pukul 15.06 sore. Tapi urusan saya juga belum kelar. Sambil saya memilah-milah data ternyata sidang perkara yang melibatkan Ayah dan Ibu Ananda telah usai. Putusan pengadilan pun telah jadi. Mereka resmi bercerai hari itu.
(foto : net)
Pihak keluarga Ayah dan Ibu Ananda tanpa menunggu lama memilih untuk langsung pulang. Jadi lah hari itu kamis 22 Desember 2011 ibu Ananda resmi menjanda dan Ayahnya menduda. Malam jumat perdana resmi secara administratif tak lagi berstatus suami istri.
Saya pun yang telah merampungkan pengumpulan data hari itu juga langsung memilih pulang. Belum saya sampai mengambil motor di halaman depan Kantor PA Nampak awan menghitam dan dilanda hujan deras. Dalam benakku hanya terbersit mungkin alam juga sedang murka dengan keputusan Ibu dan Ayah Ananda hari itu.